Disusun oleh : Ustadz Kholid Syamhudi, Lc
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قالَ ? ( لَمَّا خَلَقَ اللهُ الْعَقْلَ قَالَ لَهُ: قُمْ، فَقَامَ، ثُمَّ قَالَ لَهُ: أَدْبِرْ، فَأَدْبَرَ، ثُمَّ قَالَ لَهُ : أَقْبِلْ، فَأَقْبَلَ، ثُمَّ قَالَ لَهُ: أُقْعُدْ، فَقَعَدَ، ثُمَّ قَالَ لَهُ: مَا خَلَقْتُ خَلْقًا هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ، وَلَا أَفْضَلُ مِنْكَ، وَلَا أَحْسَنُ مِنْكَ، بِكَ آخُذُ، وَبِكَ أُعْطِي، وَبِكَ أُعْرَفُ، وَبِكَ أُعَاقِبُ، وَبِكَ الثَّوَابُ، وَعَلَيْكَ الْعِقَابُ ).
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه dari Nabi ﷺ , Beliau ﷺ bersabda: “Ketika Allâh سبحانه وتعالى menciptakan akal, Allâh سبحانه وتعالى berfirman kepadanya: “Bangunlah!” maka ia bangun. Kemudian berfirman kepadanya, “mundur!”, lalu ia mundur. Lalu Allâh سبحانه وتعالى berfirman lagi, “majulah!”, maka ia maju. Kemudian berfirman kepadanya: “Duduklah!”, maka ia duduk. Kemudian berfirman: “Aku tidak pernah menciptakan makhluk yang lebih baik, lebih utama dan lebih bagus darimu. Dengan sebabmu, Aku mengambil, memberi, dikenal, menghukum, membalas pahala dan memberi siksaan”
Hadits yang dinisbatkan kepada Rasûlullâh ﷺ ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi ad-Dunya dalam al-‘Aql ni. 15, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausâth no. 1866, Ibnu Adi dalam al-Kâmil Fi Dhu’afâ` ar-Rijâl, 2/797-798, al-Baihaqi dalam Syu’abul Imân, 4/154 no. 4313-4314 dan Ibnul Jauzi dalam al-Muadhu’ât, 1/174 dan lafazhnya lafazh Ibnu Abi ad-Dunya. Seluruhnya mengeluarkan dari jalan Hafsh bin Umar dari al-Fadhl bin ‘Isâ ar-Raqâsyi dari Abu Utsmân an-Nahdi dari Abu Hurairah secara marfu’.
Hadits ini sangat terkenal dan dikenal para Ulama dengan hadits Akal.
Dalam hadits ini ada dua perawi yang sangat lemah yaitu Hafsh bin Umar dan al-Fadhl bin ‘Isâ ar-Raqâsyi.
Hafsh bin Umar Qadhi Aleppo seorang perawi yang dihukumi para Ulama sebagai seorang yang lemah seperti disampaikan Abu Hatim. Abu Zur’ah menyatakan, Ia seorang mungkar hadits.1 Ibnu Hibbân menyatakan, “Meriwayatkan hadits-hadits palsu mengatas namakan para perawi tsiqât, tidak halal dijadikan hujjah.” 2
Al-Fadhl bin ‘Isâ ar-Raqâsyi keponakan dari Yazid ar-Raqâsyi al-Bashri dihukumi sebagai perawi lemah oleh para ulama, sehingga al-Haitsami berkata, “Ada padanya al-Fadhl bin ‘Isâ ar-Raqâsyi dan ia disepakati kelemahannya.” 3
Ahmad bin Hambal berkata, “Seorang perawi yang lemah4 . Ibnu Hibban menyatakan, Dia termasuk orang-orang yang meriwayatkan hadit-hadits mungkar mengatas namakan dari para perawi yang terkenal.”5
Ibnu ‘Uyainah menyatakan, dia seorang yang memiliki pemikiran Qadariyah dan Ahmad bin Zuhair berkata, “Aku bertanya kepada Yahya bin Ma’in tentang al-Fadhl ar-Raqâsyi”, lalu beliau menjawab, “Dia seorang tukangcerita, seorang yang jelek.” “Aku tanya lagi, bagaimana haditsnya?” Maka beliau menjawab, “Jangan tanya tentang seorang Qadari yang jelek.” 6
Hadits ini juga diriwayatkan dari jalan yang lain oleh Ibnu Syahîn (wafat tahun 385 H) dalam kitab at-Targhîb Fi Fadha`il al-A’mâl wa Tsawâb Dzalika, 1/84 no 235 dan ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’ât dari jalan Saif bin Muhammad Putra saudari Sufyân ats-Tsauri dari ats-Tsauri dari al-Fudhail bin ‘Utsmân dari Abu Hurairah secara marfu’ .
Namun dalam sanad ini ada Saif bin Muhammad seorang perawi yang dikatakan Abu Zur’ah ar-Râzi perawi hadits yang lemah7 . Demikian juga Abu Hâtim sepakat dan sama menghukuminya sebagai perawi hadits yang lemah8 . Abdullâh bin Ahmad bin Hambal menyampaikan dari bapaknya bahwa haditsnya Saif ini jangan ditulis dan dia pernah memalsukan hadits. 9 Demikian juga Yahya bin Ma’in menyatakan bahwa dia seorang penduta10. Sehingga Ibnu Hajar menyimpulkan bahwa para ulama hadits menghukuminya sebagai pendusta. 11
Dengan demikian jalan periwayatan ini tidak berarti sama sekali karena adanya seorang pendusta.
Al-Kinâni berkata, “Hadits ini adalah hadits Abu Hurairah dan dari Hadits Abu Umamah. Yang pertama ada Hafsh bin Umar Qadhi Aleppo dan kedua ada Saif bin Muhammad dan ketiga ada Sa’id bin al-Fadhl dari Umar bin Abi Shâlih al-‘Ataki dan keduanya majhul.”
Setelah itu beliau menyampaikan beberapa jalan periwayatan hadits ini dan berkata, “Kesimpulannya telah disampaikan oleh adz-Dzahabi dalam Talkhîsh al-Maudhu’ât setelah menyampaikan beberapa jalan periwayatan hadits ini bahwa hadits ini memiliki jalan lain yang tidak shahih. Ibnu Hibbân berkata, ‘tidak adahadits yang shahih dari Rasûlullâh ﷺ tentang akal.’ Sedangkan al-‘Uqaili berkata, ‘Tidak ada yang shahih dalam bab ini.’ 12
Muhammad bin ‘Ali asy-Syaukâni berkata, “al- ‘Uqaili meriwayatkan hadits ini dari Abu Umamah secara marfu’ dan dalam sanadnya ada dua perawi yang majhul.” 13
Imam as-Suyûthi رحمه الله setelah menyampaikan sejumlah riwayat hadits ini dan menjelaskan kesepakatan ulama bahwa riwayat ini palsu. 14
Ibnul Jauzi رحمه الله menyampaikan hadits ini dalam kitab al-Maudhu’ât dan berkata, “Hadits ini tidak shahih dari Rasûlullâh ﷺ “, kemudian menukilkan pernyataan imam Ahmad tentang hadits ini, “Hadits ini palsu tidak memiliki asal.” 15
Syaikhul Islâm ibnu Taimiyah رحمه الله berkata, “Hadits ini adalah dusta dan palsu menurut para ulama hadits. Tidak ada di satupun kitab-kitab Islam mu’tamad. Ini hanya diriwayatkan oleh semisal Dawûd bin al-Muhabbar dan semisalnya dari para penulis kitab tentang akal dan disampaikan oleh Pengikut Rasa`il Ikhwan ash-Shafa` dan sejenis mereka dari para filosop (ahli Filsafat). Abu Hâmid (al-Ghazali) menyampaikan pada sebagian kitab-kitabnya. Juga Ibnu ‘Arabi, Ibnu Sab’în dan sejenis mereka. Hadits ini menurut para ulama hadits adalah dusta atas nama Nabi ﷺ sebagaimana disampaikan Abu Hâtim ar-Râzi, Abul Faraj Ibnul Jauzi dan selainnya dari para ulama ahlil hadits.” 16
Ibnul Qayyim berkata, “Hadits-hadits tentang keutamaan akal semuanya dusta, seperti hadits yang berbunyi:
( لَمَّا خَلَقَ اللهُ الْعَقْلَ قَالَ لَهُ: قُمْ، فَقَامَ، ثُمَّ قَالَ لَهُ: أَدْبِرْ، فَأَدْبَرَ، ثُمَّ قَالَ لَهُ : أَقْبِلْ، فَأَقْبَلَ، ثُمَّ قَالَ لَهُ: أُقْعُدْ، فَقَعَدَ، ثُمَّ قَالَ لَهُ: مَا خَلَقْتُ خَلْقًا هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ، وَلَا أَفْضَلُ مِنْكَ، وَلَا أَحْسَنُ مِنْكَ، بِكَ آخُذُ، وَبِكَ أُعْطِي).
Ketika Allâh k menciptakan akal, Allâh k berfirman kepadanya: “Bangunlah!”, maka ia bangun. Kemudian berfirman kepadanya, “mundur!” lalu ia mundur. Lalu Allâh k befirman lagi, “majulah!” maka ia maju. Kemudian berfirman kepadanya: “Duduklah!”, maka ia duduk. Kemudian berfirman: “Aku tidak pernah menciptakan makhluk yang lebih baik, lebih utama dan lebih bagus darimu. Dengan sebabmu, Aku mengambil dan memberi”
Dan hadits:
لِكُلِّ شَيْءٍ مَعْدِنٌ، وَمَعْدِنُ التَّقْوَى قُلُوبُ الْعَاقِلِيْنَ
Setiap sesuatu memiliki bahan tambang dan bahan tambang takwa adalah hati orang yang berakal.
Juga hadits:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَكُوْنَ مِنْ أَهْلِ الصَّلَاةِ وَالجِهَادِ وَمَا يُجْزَى إِلَّا عَلَى قَدْرِ عَقْلِهِ
Sungguh seorang menjadi ahli shalat dan jihad dan tidak dibalas kecuali sesuai ukuran akalnya.
Al-Khathîb berkata, “Telah menceritakan kepada kami ash-Shuri, ia berkata, aku mendengar al-Hâfizh Abdulghani bin Sa’id berkata, ad-Daraquthni pernah berkata, “Sungguh kitab al- ‘Akal telah disusun secara palsu oleh empat orang. Yang pertama adalah Maisarah bin AbdiRabbih kemudian dicuri darinya oleh Dawûd bin al-Muhabbar, Lalu Dawûd memasang sanad-sanadnya yang berbeda dengan sanad-sanad Maisarah. Lalu Abdulaziz bin Abi Raja` mencurinya dan memasang sanad-sanad lain (yang berbeda dengan sebelumnya). Kemudian dicuri oleh Sulaiman bin ‘Isâ as-Sajzi dan memasang sanad-sanad yang berbeda lagi. Abul Fath al-Azdi berkata, tidak sah satu hadits pun tentang keutamaan Akal. Hal ini juga disampaikan oleh Abu Ja’far al- ‘Uqaili dan Abu Hâtim ibnu Hibbân.” 17
Syamsuddin as-Sakhâwi berkata, “Setelah menyampaikan hadits ini, Ibnu Taimiyah dan diikuti selainnya telah berkata bahwa hadits ini dusta dan palsu dengan kesepakatan.” 18
Syaikh al-Albâni رحمه الله berkata, “Perlu diperhatikan bahwa seluruh hadits-hadits yang berisi keutamaan akal tidak ada yang shahih satupun. Semuanya berkisar antara lemah dan palsu. Saya telah meneliti semua yang dibawakan Abu Bakr Ibnu Abi ad-Dunya dalam kitabnya al-‘Aql wa Fadhluhu, lalu saya mendapatinya seperti yang telah saya utarakan, tidak ada yang shahih satu haditspun.” 19
Kesimpulannya adalah hadits ini palsu.
Wallâhu a’lam. [ ]
1 Al-Mizân, 1/564.
2 Al-Majrûhîn, 2/259.
3 Al-Majma’, 8/28.
4 Lihat al-Kâmil Fi Dhu’afâ` ar-Rijâl, 6/2039.
5 Al-Majrûhîn, 2/211.
6 Mizaan, 3/356.
7 Lihat adh-Dhu’afâ` wa Ajwibat Abi Zur’ah ar-Râzi ‘Ala Su’âlât al-Bardza’i, 2/232.
8 lihat ‘Ilal al-Hadits, Ibnu Abi Hâtim no. 1734.
9 Tahdzîb at-Tahdzîb, 4/260.
10 Tahdzîb at-Tahdzîb, 4/260.
11 Lihat at-Taqrîb no. 2726.
12 Tanzîh asy-Syariat ‘An Akhbâr asy-Syaniât al-Mudhu’ah, 1/203.
13 Al-Fawa`id al-Majmu’ah, hlm 478.
14 Lihat al-La`aali al-Mashnu’ah, 1/129.
15 Lihat al-Maudhu’at, 1/171.
16 Majmu’ al-Fatawa, 18/336-337.
17 al-Manâr al-Munif, hlm 66.
18 Al-Maqâshid al-Hasanah Fi Bayân Katsir Min al-Ahâdits al-Musytahirah ‘Ala al-Alsinah, hlm 118.
19 Silsilah al-Ahâdits adh-Dhâ’ifah, 1/13.
Majalah As-Sunnah EDISI 07 / TAHUN XXIV / 1442 H / 2020 M